SALAM RIMBA....
Untuk orang-orang yang menghargai hidup dengan bertualang mempertaruhkan hidup,,,
Mereka yang mengaku pecinta alam apakah benar-benar pecinta alam?Bumi yang teramat sensual bagi orang - orang yang katanya “anak alam” dan menyebut diri pecinta alam. Selalu ada kebanggaan, mengalahkan lelah dan ego diri. Itu bisa berupa puncak - puncak gunung yang menuding langit atau liang gua yang kelam, seperti ada makhluk menunggu kita di sana.
Atau
tebing tegak lurus menawan seakan minta dijamah,
jeram deras
yang tak pernah bisa berkompromi. Makin bergejolak ia, makin
bergairahlah kita menyusurinya. Atau angkasa yang tak bertepi? Samudera
yang dalam?
Ah, banyak sekali sudut - sudut dan
bentang alam yang indah
menawan, betapa beruntungnya manusia. Selalu begitu, di setiap
perjalanan, di setiap kelelahan, jeda menuju klimaks, di situlah letak
rasa itu. Rasa yang… ah, sulit disimpulkan, tak ada kata yang dapat
mewakili perasaan itu. Hanya ada gairah aneh saat energi itu kemudian
akan menyusut lagi ditelan rutinitas kehidupan.
Begitu seterusnya, berulang - ulang. Foto - foto eksotis, cerita - cerita tentang
heroisme, bahwa kita adalah sekumpulan manusia unik, berani, kuat perkasa dan tahu apa yang terbaik buat diri kita, berani menjadi beda.
Pada saatnya nanti
alam kembali memanggil, berbisik dan terus mengganggu. Dan kita datang lagi, mencumbuinya lagi, terpuaskan lagi, pulang lagi. Seperti
candu
yang tak pernah selesai. Seegois itukah aku? Sesederhana itukah hidup?
Kalau hanya sesederhana itu, maka sebutan yang paling tepat adalah
penikmat alam! Bukan “
pecinta alam”.
Sekelompok orang tampak begitu sumringah, meski denyut jantungnya belum
kembali beraturan. Satu puncak lagi berhasil gapai, dengan keringat
mungkin juga dengan air mata.
Foto - foto
eksotik pun sudah digenggaman, siap untuk dipamerkan. Dengan lantang mereka bercerita, betapa tangguhnya mereka
menaklukkan setiap jejak medan.
Nafas yang memburu, otot yang melemah, kaki yang terus menanjak hanya
cerita selingan diantara cerita - cerita indah mengenai pemandangan yang
menakjubkan di atas sana.
Mereka yang tak pernah mengalaminya pun terperangah mendengar cerita itu.
Perilaku itu pun turun menurun, seolah menjadi tradisi.
Anggota lama
bercerita kepada anggota baru. Anggota baru bercerita kepada mereka
yang belum menjadi anggota. Bahwa pemandangan itu indah, bahwa
pemandangan itu begitu eksotik.
Kita pun kembali datang menyapanya, turun kemudian kembali lagi
menyapanya. Begitu seterusnya, hasrat itu terasa tak ingin berhenti.
Orang - orang yang penasaran akan cerita - cerita itu pun turut serta,
seolah ingin membuktikan mereka berani, mereka beda, mereka unik, mereka
perkasa.
Apakah sesederhana itu? Bukankah hal itu berarti pendakian tak lebih
dari hegemoni aktifitas
rekreasi yang hanya berasa keindahan saja?
Tetapi untuk apa keindahan itu? Bila
sang Bayu tak pernah dimengerti,
sang embun tak pernah dipahami. Untuk apa embun menyelimuti
punggung gunung, pernahkah kita bertanya akan hal ini?
Kita mengaku
pecinta alam, namun begitu tega
menjilat tanah dengan api, meracuni air dengan sampah, menebas pohon untuk mendirikan tenda. Apakah ini adalah
bentuk cinta? Mengapa tak kau sebut saja dirimu seorang
penikmat?
Sebagai “pengingat” bahwa jangan
sampai karena OKNUM (yang ngakunya) Pecinta Alam, malah merusak citra
para sesepuh yang mengenalkan Kelompok Pecinta Alam di Indonesia.
terakhir, mungkin kita bersama perlu kembali mengingat sebuah prinsip
yang dipegang saat kita ke alam liar, yaitu “Tidak
MENINGGALKAN apapun
kecuali
JEJAK, Tidak
MENGAMBIL apapun kecuali
FOTO/GAMBAR, dan Tidak
MEMBUNUH apapun kecuali
WAKTU”.